Beranda | Artikel
Hakikat Kalimat Tauhid [Bagian 2]
Jumat, 1 Februari 2013

Tanggapan Kaum Musyrikin Terhadap Dakwah Tauhid

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka merasa keheranan tatkala datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir itu pun berkata: Ini adalah tukang sihir dan pendusta. Apakah dia [Muhammad] hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja? Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shod: 4-5) (bacalah kisah menarik mengenai tafsir ayat ini di dalam Ma’alim at-Tanzil, hal. 1105 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidak datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka (kaumnya) berkata: tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan dengannya? Bahkan mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzariyat: 52-53)

Tauhid Perintah Yang Paling Agung

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabbmu memerintahkan: Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik.” (QS. Al-Israa’: 23)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits yang agung ini menunjukkan bahwasanya dakwah kepada laa ilaha illallah adalah dakwah kepada tauhid (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 67 oleh Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz alu Syaikh). Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa ilaha illallah -berdasarkan perintah Kitab suci mereka- akan tetapi karena ucapan mereka tidak dilandasi ilmu dan pemahaman maka ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka, sehingga mereka justru beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz untuk menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama untuk diserukan kepada mereka (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 36 oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)

Diantara pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadits di atas adalah wajibnya menerima hadits ahad dan mengamalkannya. Sebab di dalam hadits ini Mu’adz diutus ke Yaman seorang diri. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang-orang kafir didakwahi kepada tauhid sebelum kepada perkara-perkara wajib yang lain. Demikian pula, hadits ini menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib (lihat Ibthal at-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 42 oleh Syaikh Hamd bin ‘Atiq rahimahullah)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran diterimanya khabar/hadits ahad dan wajib beramal dengannya.” Beliau juga berkata, “Di dalamnya juga terdapat pelajaran bahwa dituntunkan untuk mendakwahi orang kafir kepada tauhid sebelum memerangi mereka, dan tidaklah mereka dihukumi sebagai muslim kecuali setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (lihat Syarh Muslim [2/48])

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu memiliki kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama seluruhnya menjadi milik Allah.” (QS. Al-Anfal: 39)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah maka dia telah menjaga dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah.” (HR. Muslim)

Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi bahwa yang dimaksud oleh hadits ini [untuk diperangi] adalah para pemuja berhala, bukan ahli kitab; sebab ahli kitab -di masa itu- telah mengucapkan laa ilaha illallah…” Qadhi ‘Iyadh juga memiliki keterangan serupa bahwa yang dimaksud adalah kaum musyrikin arab, para pemuja berhala, dan orang-orang yang tidak bertauhid (lihat Syarh Muslim [2/56])

Tauhid Kunci Keselamatan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allah Yang Maha Suci telah mengaruniakan dua hal yang agung kepada bani Adam. Kedua hal itu merupakan pokok kebahagiaan. Pertama; Setiap bayi yang terlahir berada di atas fitrah (tauhid). Setiap jiwa apabila dibiarkan begitu saja niscaya akan mengakui bahwasanya Allah adalah ilah/sesembahan baginya. Ia akan mencintai dan akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi adanya bisikan setan dari kalangan jin dan manusia itulah yang menyebabkan kebatilan seolah menjadi sesuatu yang tampak indah dan menawan. Kedua; Allah ta’ala telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan bimbingan yang bersifat umum. Sehingga di dalam diri mereka secara fitrah telah terpatri pengenalan -kepada kebenaran- dan sebab-sebab guna meraih ilmu. Setelah itu, Allah pun menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para rasul sebagai pembimbing bagi mereka.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya -Abu Thalib- menjelang kematiannya, “Ucapkanlah laa ilaha illallah; yang dengan kalimat itu aku akan bersaksi untuk menyelamatkanmu pada hari kiamat.” Akan tetapi pamannya itu enggan. Maka Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang kamu cintai, dst.” (QS. Al-Qashash: 56) (HR. Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab: Dalil yang menunjukkan bahwa barangsiapa yang mati di atas tauhid maka dia pasti masuk surga. Kemudian beliau membawakan riwayat yang dimaksud (lihat Syarh Muslim [2/63]). Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwasanya tidak ada ilah [yang benar] selain Allah maka dia masuk surga.” (HR. Muslim)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata, “Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Dia menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “…Apabila dia -orang yang bertauhid- itu adalah seorang pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang dengannya (belum bertaubat dari dosa besarnya) maka dia berada di bawah kehendak Allah (terserah Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila dia dimaafkan maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia akan disiksa terlebih dulu lalu dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa para pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak boleh dipastikan masuk ke dalam neraka, dan apabila ternyata mereka diputuskan masuk (dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan mereka adalah kekal di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya  serta kalimat-Nya yang diberikan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maka tidak ada seorang pun yang meninggal di atas tauhid dihukum kekal di dalam neraka, meskipun dia melakukan kemaksiatan seperti apapun juga, sebagaimana pula tidak akan pernah masuk surga orang yang mati di atas kekafiran meskipun dulunya dia banyak melakukan berbagai amal kebaikan.” (lihat Syarh Muslim [2/74])

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an adalah orang yang di masa Jahiliyah suka menyambung tali kekerabatan dan memberi makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat untuknya?”. Maka beliau menjawab, “Tidak bermanfaat baginya. Karena sesungguhnya dia tak pernah suatu hari pun memohon, ‘Wahai Rabbku ampunilah dosaku di hari pembalasan nanti.’.” (HR. Muslim)


Artikel asli: http://abumushlih.com/hakikat-kalimat-tauhid-bagian-2.html/